Masjid
ini besar, bahkan konon pintunya ada seribu. Ditelisik dari sebutannya yaitu
‘Masjid Pintu seribu’ jangan tanya siapa yang tiap hari yang rajin gembokin
pintu nya satu-satu, saya malah bingung ini sholatnya disana, disini apa disitu?
Yang saya lihat ada banyak lorong tanpa daun (pintu), menuju ruang gelap
gulita, tidak ada cahaya, hati-hati tersesat, jangan coba-coba masuk sendirian,
ini mirip banget sama adegan film Horor The Descent : gelap, lembab, engap.
Meski namanya Masjid, saya gak berani shalat disitu.
Sempet dapet
permintaan dari seorang adik sepupu, sebut saja Dewi, asalnya sih dari
Klaten. Ia yang baru saja pulang merantau dari Jepang selama 2 tahun itu,
meminta kami para keluarga Tangerang mengajaknya menjelajahi wisata Kota
Tangerang. Lha saya kan ‘ku-per’ ya, bahkan permintaan sesederhana itu saya
bingung mau saya ajak kemanakah dia nanti. Beruntung punya adik-adik lelaki
yang gahul nya ‘kebangetan’, kita mau wisata, jalan-jalan , cuci mata eh.. di
ajak Ke Masjid, agaknya mereka ingin kami banyak-banyak bertaubat.
Yak, kami
sekeluarga besar akhirnya mengunjungi salah satu wisata religi kepunyaan kota
Tangerang, yaitu Masjid Pintu Seribu yang berlokasi di Kampung Bayur, Kecamatan
Periuk, Kota Tangerang. Aselinya masjid tersebut bernama Masjid Agung Nurul
Yaqien, yang konon memiliki seribu pintu serta segudang cerita misterius
didalamnya.
Berwisata
bersama keluarga besar menjadi hal yang sangat menyenangkan buat saya, ini
sungguh dapat meninggalkan kenangan yang berkesan. Berbeda sekali dengan jaman
sewaktu saya masih gadis, yang lebih suka ngetrip bersama teman-teman dan lupa
keluarga :D
Ohya,
kebetulan sebelumnya, dihari yang sama kami memang sedang menghadiri undangan
pernikahan seorang kerabat di daerang Sepatan, Kab. Tangerang. Maka sekalian
saja, dengan memanfaatkan google map, kami berangkat menuju lokasi wisata
Masjid Pintu seribu, iring-iringan dua ekor mobil berjenis minibus.
Mendekati
lokasi wisata, ternyata mobil kami tidak diperbolehkan masuk kedalam. Kamipun
parker disebuah tanah lapang disekitar rumah penduduk. Disitu juga banyak yang
menjajakan berbagai makanan seperti baso, siomay dll, yang cocok utuk
mengganjal lapar setelah perjalanan.
Tidak
berlama-lama, kami semua berjalan menuju lokasi tujuan. Entah kami masuk dari
sisi mana, yang kami lihat sejauh mata memandang adalah jalanan sempit,
melewati banyak rumah warga, sungguh tidak terlihat kami sedang menuju sebuah
tempat wisata. Soalnya gambaran yang saya ketahui tentang tempat wisata
biasanya dipenuhi orang-orang yang menjajakan berbagai kuliner serta
cinderamata khas dari tempat wisata, namun yang terlihat dikanan kiri hanyalah
rumah warga, apa kami nyasar ya?
Setelah
kurang lebih 100 meter kami berjalan, tibalah kami menjumpai bangunan masjid yang
terlihat seperti gambar di bawah ini.
Bangunannya
sangat unik, menurut saya andai tidak terlihat beberapa tulisan arabnya,
sungguh saya tidak mengenali bahwa ini adalah sebuah bangunan masjid, lebih
mirip bangunan kuno jaman Belanda, karena beberapa sisinya seperti
bangunan yang belum selesai dibangun.
Sesampainya
kami dipelataran masjid, beberapa penjaga disitu menawari kami agar ikut masuk
ke dalam masjid berpintu seribu tersebut, dengan membayar uang seikhlasnya
sebagai pengganti biaya pemeliharaan masjid, kami dipandu oleh seorang guide
bersarung kotak-kotak dan berpeci agak miring, untuk masuk kedalam
lorong-lorong masjid. Sebelumnya kami membeli beberapa senter kecil yang
dijajakan diluar pintu mesjid.
Nah,
ternyata eh ternyata.. salah satu keunikan yang disuguhkan wisata ini adalah
sebuah sensasi alam kubur. Percayalah, saya merinding dibuatnya.
Kami masuk
beruntun, saling memegang pinggang orang didepan kami, mengikuti si guide yang
berjalan sangat cepat. Awalnya lorong-demi lorong bisa kami lewati dengan mudah
meski satu lorong hanya bisa dilewati 1 orang saja, namun makin kedalam, lorong
semakin menyempit kanan, kiri, atas, bawah. Suhunya pun terasa berbeda sekali
dengan suhu diluar yang tadinya kering menjadi sangat lembab dan dingin, mirip
sekali seperti berada di dalam sebuah Goa, namun yang lebih mengerikan buat
saya, saya hampir sesak napas sampai terengah-engah, namun bukan karena tidak
ada oksigen, mungkin hanya psikologis saya yang tidak nyaman dengan situasi
tersebut.
Makin
kedalam, ternyata kami bermuara disebuah ruangan yang cukup longgar. Tidak tau
seperti apa tempatnya, karena gelap gulita sekali. Sang guide mendadak bersuara
dengan agak kasar seolah olah ia adalah malaikat Munkar dan Nakir, kami
disuruhnya duduk berbaris 2 banjar, ia mengatakan banyak hal yang membuat kami
merasa berada di alam alam kubur, situasi ini membuat kami ingat mati. sungguh
bergetar sekali Ya Rabb jantung ini, namun tiba-tiba ada teriakan yang memecah
kekhusukan kami,
“Bundaaaaa
Ayaaaah Pulaaaang”
Ternyata
Rayyan, anak saya yang sedari tadi digendong mbahnya ini mulai rewel, dan
membuat kegaduhan yang membuat Bapak Guide tadi kesal dan menyuruh kami keluar
dan tidak melanjutkan menutup muhasabah ini dengan zikir dan doa bersama. Jadi
gak enak, maap ya Bapak Guide *tutup muka pake pampers.
Kesalahan
saya saat itu adalah masuk dengan mengajak anak saya yang baru berusia 2 tahun.
Sehingga kami tidak tuntas mendapatkan pengalaman sensasi alam kubur yang
seharusnya bisa kami rasakan dengan khusuk. Berhubung pada saat saya masuk
dengan menggendong si anak, tak ada satupun penjaga yang mengingatkan saya agar
sebaiknya tidak masuk ke dalam masjid. Okelah aku memang tak tau diri qiqiqi..
Sependek
sepengetahuan saya, masjid itu identik dengan ibadah, ketentraman dengan
wajah-wajah penuh cahaya terkena basuhan air wudhu. Namun ditempat ini tidak
nampak layaknya masjid yang saya bayangkan. Gelap dan menakutkan, sungguh saya
tidak akan menikmati sholat saya jika melakukannya di masjid itu. Khusuk kagak,
ngelantur iya. Namun itu semua tidak terlepas dari berbagai situasi dan
kondisi. Masjid itu dingin, butuh sentuhan tangan pemerintah daerah setempat
agar dapat di tuntaskan pembangunannya dan dapat dinikmati kenyamanannya
sebagai tempat ibadah yang HQQ.
Saya pribadi
gak berani datang kesitu lagi, cukup ambil hikmah nya aja bahwa kita harus
selalu mawas diri dalam hidup didunia yang fana ini. Namun Paksuami malah
ketagihan, kelak pingin kesana lagi sih katanya. Ada sensasi gimana gitu,
kekhusukan yang tidak bisa ia dapatkan dengan mudah. Katanya lelaki itu sulit
menangis, namun ditempat itu ia…… *tebak sendiri qiqiqi..
Okelah,
sampai jumpa di tulisan selanjutnya ya..
Terimakasih sudah bersedia mampir
dan menyempatkan membaca, akan senang sekali jika teman-teman berkenan
memberikan komentarnya. – HENNY F LESTARI –
2 Komentar
Wah pengen ke sana nih, Mbak. Itu hanya masjid saja atau ada pesantrennya, Mbak? Jadi ingat Masjid Tiban di Malang, juga disebut 1.000 pintu. Salam kenal, Mbak..
BalasHapusVita
akupunmenulis.wordpress.com
Hai Mba Vita, salam kenal..
BalasHapusSepertinya hanya masjid saja Mba, tidak ada pesantrennya, kapan-kapan silahkan berkunjung ke sini Mba.. Disini terkenal dengan 'sensasi alam' kuburnya loh..